no expectation


Malam ini Jakarta kembali diguyur hujan. Harry masih duduk terbelenggu di salah satu ruangan. Kantornya yang terang benderang nampaknya menghalanginya pulang. Dilihatnya jam tangan sebentar-sebentar. Kemudian sebentar lagi melongok ke dalam, sebuah benda kecil yang sering sebut orang sebagai telepon genggam. Agak lama Harry memandang ke dalam, dia sudah hafal, nampaknya malam ini tak ada yang bisa diharapkan, sambil menatap nanar layar yang kosong tanpa pesan.
Dari kantornya lantai delapan belas di salah satu gedung-gedung tinggi yang menjulang di Kuningan. Harry menikmati benar pekerjaannya. Sebagai seorang professional muda yang tengah menanjak karirnya di sebuah perusahaan Nasional, tak sedikitpun ia kehilangan sentuhan terbaiknya untuk pekerjaan sampingan, yaitu sebagai seorang perangkai kata dalam kartu ucapan. Sebuah pekerjaan ringan, yang bahkan, tak diketahui teman-teman kantornya.
Kadang sengaja ia sempatkan, malam-malam di balik jendela besar, yang menghadap ke jalanan. Di antara deru ramai jalanan, suasana berkebalikan ada di dalam kantornya. Sepi merasuk setiap jejak pandangan yang ia rasakan. Perasaan anti teori seperti inilah yang ia nikmati dan ia sadari, untuk mencari inspirasi dalam menghasilkan untaian kata pencari makna.
Apalagi saat hujan. Sedari kecil Harry tau betul bagaimana menikmati hujan. Berapapun skalanya, dari gerimis yang tak tertahankan sampai menjadi hujan besar, yang seringkali menghanyutkan lamunannya. Harry sangat mencintai hujan. Dididik kedua orang tuanya untuk tidak takut pada alam, Harry kecil selalu bersenang-senang bersama hujan di luar sana, jauh di luar rumah yang menghangatkannya seperti kebanyakan anak-anak kecil lain yang dimarahin orang tuanya saat hujan tiba.
Biasanya Harry kecil rajin ke lapangan di samping rumahnya, untuk sekedar bermain bersama teman-teman lain yang diijinkan orang tua mereka, atau menikmati sendiri, rintikan air yang menari-nari jatuh menghantam pori-pori. Tarian hujan, adalah salah satu yang paling dirindukannya. Bebas rasanya, bergerak tak beraturan arah sambil diguyur jutaan keping air yang jatuh dari kolong langit berawan. Bercampur dengan air mata bahagianya, air hujan merasuk ke dalam jiwanya, memberikan sebuah kesejukan yang tiada tara saat mata, wajah, dan rambutnya basah semua.
Bagian hujan yang paling disukai Harry adalah semuanya. Tepat ketika bulir pertama jatuh perlahan-lahan, suara bergemerincing dan nada yang dihasilkannya, sampai kabut yang tebal sebagai efek terbatasnya pandangan saat hujan besar datang. Begitulah hujan memainkan perannya dalam kehidupan masa kecilnya. Hingga saat dewasa tiba, Harry mulai menyadari, ada banyak bagian hujan lain yang ia lewatkan. Yaitu liak-liuk jatuhnya hujan yang berbeda intensitasnya, tanda-tanda centang yang ia lihat mengerumuni genangan air di jalan, wangi harumnya keadaan sekitar yang tak tergantikan, dan kekuatan besar yang mengatur kehidupan.
Terutama baginya, hujan mampu memparodikan kesedihan, mengurai kepahitan menjadi senyuman bahagia, meleburkan airmata yang jatuh luruh bersama air hujan, sampai bau tanah sehabis turun hujan yang sampai sekarang masih ia pahami, sebagai pertanda semangat yang tak henti-henti, memuaskan hati.
********
“Masih deras… “ gumamnya
Saat itu jam tangan pemberian mantan kekasihnya sudah hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Tak bisa lagi ia menunda kepulangannya lebih larut dari biasanya. Karena besok pagi meetingbersama direksi akan dimulai di pagi hari. Mengambil beberapa dokumen yang diperlukan untuk esok hari, Harry berangsur dari kursinya untuk segera pergi. Hanya tinggal beberapa Office Boyyang masih sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri. Lalu diayunkannya langkah malas untuk segera turun ke basement parkiran mobil, dimana sedan Toyotanya keluaran tahun Dua ribu sembilan tengah menanti untuk dikendarai, di malam yang semakin sunyi. Tak ada yang istimewa, sesampai di parkiran dan mengeluarkan mobilnya, hujan masih begitu setia menghujam bumi.
“Masih macet jam segini, mungkin malam ini aku nyetir sambil twitteran lagi.”Bisiknya menyemangati hati.
Tak ada lagu dalam playlist di mobilnya malam itu, karena dari dulu Harry tak mau diganggu, menikmati nada yang dialunkan hujan yang semakin membiru. Harry memacu mobilnya perlahan sampai tak terasa sudah diujung jalanan Kuningan. Hampir ia melewati perempatan Kuningan, sebuah pesan masuk dari Handphonenya yang digetarkan.
Terlalu menikmati nada yang diciptakan hujan. Harry berkonsentrasi dengan jalanan yang masih padat menjalar. Sampai akhirnya dirasa bosan bersama macet yang terjadi berulang-ulang, ia kemudian terinspirasi untuk menulis beberapa tulisan. Meraih Handphonenya, Harry tak sabar lagi untuk twitteran.
Tentu saja Harry menyadari sebuah pesan datang. Sambil mengerjap beberapa saat. Ia membuka sebuah BBM yang masuk dari mantan terindahnya.
I need to see you now…” Begitu jelas pesan yang terpampang, diukuran layar yang ditatapnya dengan berbinar.
Tak butuh detik untuk memahami maksudnya, Harry mengetik balasannya sederhana : “Where? And When? “
Masih melaju perlahan menuju Mampang, sebuah pesan balasan masuk saat itu juga.“Sekarang. Kafe Kopi Merah Fatmawati. Di meja biasanya.”
Tak ingin kembali telat datang, Harry memacu mobilnya agak kencang begitu ia melihat sedikit celah jalan yang Nampak lengang. Terletak di jalan Cipete Raya, Fatmawati, Harry bisa memperkirakan bahwa dengan kondisi jalanan yang tak sepenuhnya lengang ini. Ia baru sampai sana sekitar empat sampai lima puluh menit lagi. Baginya ada sedikit penyesalan, jika harus membiarkan seseorang menunggu terlalu lama kedatangan dirinya.
Dengan kondisi jalan yang masih diguyur hujan, kehati-hatian sangat ia perlukan. Oleh karena itu ia tadi sempat membalas pesan dari mantan terindahnya, bahwa ia sudah meluncur di jalan, dengan harapan ia sabar menunggu saat Harry tiba disana. Sepanjang perjalanannya ke Cipete Raya, berputar-putar sejuta pikiran, dan berkecamuk perasaan. Tantang malam apalagi yang akan ia habiskan, bercerita bersama mantan.
Benar saja, setelah tak begitu padatnya jalan selewat mampang, Harry sampai di Fatmawati pukul sepuluh malam. Dijumpainya seorang perempuan muda cantik, yang sorot matanya tak tergantikan, dan senyuman khasnya saat memberi salam. Perempuan inilah, yang dulu lama singgah di kehidupannya, dan Harry selalu berjanji untuk terus menjaganya, meskipun sudah tak bersamanya.
Tak ada yang berbeda malam itu, hanya malam hujan seperti malam-malam yang sering mereka lalui bersama untuk berbagi canda dan cerita, beberapa tahun sebelumnya.
Sebelum dimulai kata pertama, saat Harry menyapa. Baris kalimat meluncur perlahan dari bibir mungilnya, bibir seorang perempuan yang selalu dimasukkan ke dalam setelah selesai tersenyum.
Maaf… tiba-tiba menyuruhmu datang malem-malem lagi Mas…” sapanya lembut.
Gapapa Farah, aku ga ada acara malam ini selain pulang langsung ke kosan.” Balas Harry.
Jadi ada apa? Kau mendadak mengirim pesan, dan berkata ingin menemuiku di café favorit kita ini.” tanya Harry setelah membenarkan tempat duduknya.
Tersenyum sedikit, Farah mengambil sebuah benda dari dalam tasnya.
Ini…, aku mau menyampaikan ini.”
Sebuah undangan untukmu…” kata Farah sambil menyodorkan kertas emas indah berbungkus plastik yang tersusun rapi namanya dan nama orang lain di pojok kanan atas depan.
“Aku mengundangmu di hari bahagiaku, bersama calon pilihan orang tuaku”ujarnya penuh tatapan meminta pengertian yang mendalam.
……………..
Harry terdiam dalam duduknya. Tak mampu melanjutkan percakapan. Dua gelas kopi yang Farah pesan tepat ketika sebelum dia datang juga diam. Kemudian warna lampu di sekelilingnya seperti berhenti berpendar. Reaksi kimia yang memudar juga merasuki seluruh tulang belulang, terutama persendian di kaki dan tangan.
Perlahan semua terasa lebih jelas terlihat dan alam mulai menyampaikan rahasia terbesarnya. Lalu lalang orang yang masuk di café itu seperti slow motion yang bergerak perlahan. Suara perbincangan meja sebelah terdengar semakin jelas dan kencang. Suara dentingan cangkir yang diletakkan pelayan di atas piring kecil di sebuah nampan, tak lagi terasa ringan.
Fakta bahwa selembar kertas itu telah merubah segalanya dalam hitungan detik, membuat Harry sedikit terpana, bagaimana setelah ini dia mampu menyusun kata-kata untuk menjawabnya, dengan penuh pengertian juga, dan berusaha bijaksana. Seolah-olah menjadi bebannya untuk harus berkata apa.
Hujan di luar terasa lebih deras dari biasanya. Harry masih juga terdiam, dalam hatinya ia ingin kembali ke masa silam, bermain-main dengan hujan, untuk menanyakan segalanya di bawah pelukan ribuan tetesan. Bercerita semuanya kepada hujan, yang datang menghampiri semua pemujanya. Alasan sebenarnya dibalik kenapa ia mencintai hujan, adalah hujan tak pernah membeda-bedakan siapa yang akan dijatuhinya. Seperti cinta yang diyakininya seindah hujan. Seharusnya jatuh kepada setiap pemujanya, tanpa membedakan-bedakan keadaanya.
Selesai bait pertama, saat hujan berhenti menuang kata.

0 komentar: