mereka-reka

Sepasang manusia itu saling terdiam di depan layar virtualnya. Kedua tangan masing-masing berada tepat di atas huruf-huruf teratur yang berderet. Tapi tak seorangpun dari mereka memulai percakapan. Kotak messenger yang masih kosong menutupi seluruh layar komputer si lelaki, dan notebook si perempuan.
“Jadi, sudah?” Tanya si lelaki akhirnya memberanikan diri.
“Ya, sudah.” Jawab si perempuan singkat.
“Boleh sekali lagi aku tanya, kenapa?” Kata si lelaki lagi.
“Karena ini tidak nyata. Kamu seperti mimpi yang menggelisahkan. Menyenangkan, tapi saat terbangun, aku tahu tidak akan pernah menemukanmu di dunia nyataku.” Jelas si perempuan.
“Bukankah itu cuma masalah waktu?” Masih lelaki itu mencari pengharapan terakhir.
“Maaf. Kamu bahkan belum bisa memastikan, kapan. Aku sama sekali tidak punya alasan bertahan.” Dan si perempuan bergetar menahan air mata di tempatnya.
“Oh… Baiklah. Kurasa memang itu sudah mutlak. Begitu?” Lama si lelaki baru membalas. Sesuatu memukul-mukul dadanya. Sekuat tenaga dia berusaha membangunkan logika yang tertidur entah di mana.
“Ya..” Balas sang perempuan mengetik dengan satu tangan. Dagunya bertumpu pada kedua lutut, titik-titik membahasi kulitnya pelan.
“Yasudah.” Kata terakhir si lelaki itu mendiamkan mereka cukup lama. Si perempuan menangis di tempatnya, si lelaki menghabiskan berbatang-batang rokok tanpa memberi kesempatan paru-parunya untuk bernafas lega. Mati ya mati sajalah, mungkin itu pikirnya.
“Kamu tahu, rasaku, nyata untuk kamu. Kamu tahu itu, walaupun kita belum pernah bertemu. Walaupun aku belum pernah melihat kamu.” Berat sekali tangannya ketika menuliskan kalimat itu di papan huruf berwarna hitam di depannya. Si lelaki diam menunggu jawaban.
“Kalau memang itu nyata, aku tahu rasanya. Karena yang aku rasakan ini gila. Hampir-hampir mengalahkan logika. Aku harap kamu mengerti. Bukan mudah mengambil keputusan.” Si perempuan seolah berusaha menegaskan bahwa dia pun mengalami sakit yang sama saat ini.
“Kamu ada dalam semesta tak terhitung. Mungkin seperti partikel, kamu bisa berjumlah seribu satu, bisa saja ada dalam berjuta kemungkinan. Kamu adalah kumpulan titik pada sebuah garis panjang linier. Konstan dalam ketidakteraturan. Kamu terpola dan itu nyata. Harusnya tidak perlu ada takut tentang hal klise semacam jarak dan waktu. Tapi, itu keputusanmu.” Takut terdengar berlebih, si lelaki memutuskan menyudahi.
Si perempuan tidak sanggup membalas lagi pesan yang dihantarkan kotak pesan virtual di depan matanya. Lelaki yang biasa dingin ini berbicara banyak, sebanyak sakit yang mungkin sama mereka rasakan. Sedetik kemudian notifikasi berbunyi singkat, sang lelaki telah hilang kembali ke dunia nyatanya. Si perempuan menenggelamkan kepala dalam dekapan tangan dan lutut, menangis sejadi-jadinya di sana.

0 komentar: